KUMPULAN CERPEN MAHASISWA FARMASI POLTEKKES KEMENKES MAKASSAR
KUMPULAN CERPEN MAHASISWA FARMASI
POLTEKKES KEMENKES MAKASSAR
1. PENULIS : Monica Fallensyah
JUDUL : Kutemukan Diriku dalam Gelapnya Lautan Keterpurukan
Aku menatap sekelilingku dengan bingung. Ku gali ingatanku, berusaha mengingat kenapa aku bisa disini, tapi percuma. Tempat ini gelap dan begitu sunyi hawa dingin pun begitu menusuk kulit, yang terlihat hanya kegelapan.
Tiba-tiba terdengar suara tangis lirih dari belakangku yang sontak membuatku menoleh. Suaranya semakin lama semakin terdengar jelas. Tapi dari mana? bukan, lebih tepatnya siapa yang menangis? Lambat laun suara tangis itu berhenti.
Ketika aku menoleh ke depan aku terlonjak kaget melihat seorang gadis SMA sedang duduk sambil memeluk lututnya. Aku bingung, kenapa bisa melihat sosoknya dengan jelas, padahal tempat ini dipenuhi oleh kegelapan. Kepala gadis itu tersembunyi di antara lipatan tangannya. Gadis itu terus saja mengigaukan kalimat yang sama.
"Aku takut. Jangan seperti itu Ibu. Maafkan Aku. Aku takut."
Setelah mengigaukan itu berkali-kali ia tiba-tiba menangis. Aku yang melihatnya terheran. Timbul tanya dalam benakku. Ada apa dengan gadis itu? Kenapa gadis itu menangis terisak sambil berkata seperti itu? Kenapa gadis itu merasa takut sedang dia hanya menangis dan tidak ada orang yang berada di dekatnya? Apakah ... gadis itu sedang mengigau?
Rasa penasaranku semakin kuat. Aku semakin ingin tahu ada apa dengan gadis itu.Aku hampiri gadis itu lalu bertanya "Hei. Kamu kenapa?" Tanyaku dengan selembut mungkin agar gadis itu berani untuk berbicara.
Gadis itu mengangkat kepalanya menatapku dengan penuh arti. Tatapan yang sangat lemah tak berdaya. Aku yang melihatnya semakin merasa tersentuh dan rasanya ingin membawanya pulang.
"Aku takut. Sangat takut." Ucap gadis itu dan kembali menangis dengan keras seolah ada orang yang melukainya.
"Kamu takut akan apa? Ceritakan padaku. Aku akan mendengarkanmu dan sebisa mungkin akan membantumu."
"Aku takut. Aku takut jika Ibuku mengeluarkan kata-kata yang tidak ingin ku dengarkan." Jawab gadis itu dengan kedua tangannya menutup telinganya. Bahkan sambil menggeleng-gelengkan kepala dan berkata "Aku tidak ingin. Aku takut."
Aku semakin kasihan padanya. Aku tidak punya hak untuk ikut campur atas masalah yang gadis ini hadapi. Tapi Aku penasaran bahkan rasanya Aku ingin membawanya pulang.
"Kamu takut akan apa?" Tanyaku kembali.
"Aku takut. Takut jika perkataan Ibuku akan merusak mentalku. Aku takut jika perkataan Ibuku menjadi doa untukku. Dan Aku lebih takut jika di masa yang akan datang Aku akan melakukan hal yang sama seperti yang Ibuku lakukan." Isak anak itu. Aku berpikir sejenak. Apa yang Ibunya katakan sampai-sampai gadis ini bisa berpikir seperti itu.
"Memangnya apa yang Ibumu katakan?" tanyaku yang sudah sangat penasaran. Bahkan Akupun lupa kalau Aku sudah mulai ikut campur dengan urusan gadis ini.
"Dasar anak pembawa sial! Dasar anak tidak berguna! Percuma Aku menyekolahkanmu! Anak bodoh! Anak kurang ajar"
DEGG!!!
HA HA HA.... Aku tertawa hambar. ‘Tidak, ini tidak mungkin. Siapa gadis ini sebenarnya. Kenapa gadis ini berkata seperti itu.’ Batinku
"Tolong Aku."
Aku berjalan mundur, dan meninggalkan gadis itu. Tapi tangisan gadis itu terus menghantui pikirankuku. ‘Tidak. Ini tidak mungkin.’ Batinku.
Bodoh!! Bodoh!! Kenapa Aku lari? Itu adalah diriku. Seharusnya Aku menyelamatkannya bukan meninggalkannya. Bodoh!
Keringatku mulai bercucuran, Aku mulai terengah-engah. Aku tersadar dari lamunanku dan Aku kaget yang sudah ada di atas jembatan seperti orang bodoh. Ah, Aku baru ingat kalau sekarang Aku hanyalah pelajar SMA yang sedang depresi. “Ha..Ha..Ha..” Aku tertawa sinis, menertawakan diriku sendiri. Ternyata yang tadi itu hanya lamunanku saja.
Kupejamkan mataku, mengizinkan angin berhembus mengenai wajahku. Menghela nafas panjang dan kembali menatap air yang terlihat semakin dalam semakin gelap. “Maafkan Aku. Aku hanya tidak siap untuk menghadapi masa sekarang yang ku lalui. Akupun tidak ingin menyusahkan diriku di masa depan dengan kenangan seperti ini.”
Semua ingantan bahagia tiba-tiba terlintas dibenakku. Namun apa daya, tubuhku dan jiwaku yang rapuh semakin tenggelam dalam lautan yang begitu gelap. Lahirlah kembali dan hiduplah dengan bahagia wahai diriku yang malang.
2. PENULIS : Anonim
JUDUL : Perempuan Dibalik Tirai
Kilau cahaya matahari mulai bergerak pelanmelintasi sela-sela tirai yang menjulur di kaca jendela. Hangatnya yang menerpa bingkai wajahku terasa cukup menusuk dan berhasil mengilapkan batang hidungku yang –banyak orang menyebutnya- bangir. Aku sedikit mengerjap, mengucek kedua mata, lantas menoleh ke arah weker yang terletak di atas sudut meja kecil yang tak jauh dari tempat tidur. Aku membuang napas berat. Pukul sebelas dua belas.
Perlahan kuraba kedua pelipisku. Kepalaku masih sedikit pening. Badanku juga pegal rasanya. Aku menggerutu. Ini pasti karena peristiwa semalam.Dari yang aku ingat, kurang dari tiga puluh menit setelah aku menenggak bulat-bulat kecil itu, semuanya berubah tenang dan damai layaknya tubuh yang lelah terbaring di atas onggokan awan yang begitu empuk. Bahkan saat aku mencoba beranjak untuk sekadar meraih botol air mineral di samping tempat tidur karena mulutku yang terasa kerontang pun sangat susah. Alhasil aku terhuyung kemudian kembali tergeletak.
Aku mulai mencoba menilik. Entah sudah berapa lama aku seperti ini. Bangun di waktu yang tidak wajar dan melewatkan begitu banyak momen dengan percuma. Ah, aku bahkan tak bisa mengingatnya.
Dulu, aku biasa terbangun dini hari. Bahkan kerap lebih cepat dari denting jam raksasa yang berdiri tegak di ruang tamu lantai bawah rumah ini ketika penunjuknya tepat berada pada angka empat. Namun tak dapat kupungkiri bahwa frekuensi istirahatku memang banyak berubah akhir-akhir ini.
Kusibak selimut yang masih menutupi kedua tungkaiku. Selanjutnya duduk di tepikanan tempat tidur dan menyingkirkan beberapa helai rambut ke belakang daun telinga yang sebelumnya menutupi hampir sebagian wajahku. Kumiringkan pandangan hingga berhenti pada sebuah mirat persegi yang melekat vertikal pada dinding kamar. Kutatap bayangan yang memantul di dalamnya. Tampak figur seorang perempuan muda bergaun biru lembut, rambut panjang sepinggang dan kusut sertawajah yang tampak letih. Menyedihkan sekali kau!
Kutepuk ujung gaun tidur yang membalut tubuhku lalu bangkitmenuju kamar mandi untuk sekadar membasuh wajah. Setelah itu aku bergegas meraih sebotol air mineral di atas meja yang tadi malam tak tersentuh, minum beberapa teguk kemudian berjalan mendekati tirai.
Tidak! Aku tidak bermaksud untuk membukanya. Jika kau berpikir bahwa aku akan menyingkap tirai itu lebar-lebar dan memberi terusan yang lapang bagi cahaya untuk lebih banyak menimpa apa saja yang ada di dalam kamar ini, kau pasti keliru. Akuingin mengintai sedikit saja, seperti yang sering kulakukan belakangan ini.Aku selalu penasaran dengan apa yang sedang terjadi di baliknya. Tidak lebih.Itu lebih baik. Jauh lebih baik.
Tak ada yang begitu menarik. Tak ada yang berbeda. Sama saja. Sepetak pekarangan yang terbentang di antara teras rumah dengan trotoar jalan,sebuahkotak surat tempat Postie menaruh beberapa surat di bagian sudut kiri luar, deret lampu-lampu jalan, pohon-pohon mahoni yang masih tumbuh begitu kokoh dan daun-daunnya yang telah mengering berserakkan di sepanjang jalan. Tapi aku, -kami- tak perlu risau. Selepas pukul empat nanti Pasukan Kuning akan tiba lagi dan siap membereskannya. Dari ujung ke ujung. Dari utara ke selatan.
Oh, iya. Berbicara tentang kotak surat itu, sepertinya ia tak lagi berguna. Kuperhatikan sudah lama sekali ia melompong. Kotak surat yang malang itu kepanasan, kehujanan dan perlahan mulai berkarat. Kupastikan suatu saat aku akan meminta bantuan kepada seseorang untuk menyingkirkannya. Ataukah salah satu dari Pasukan Kuning mungkin bisa melakukannya? Entah, nanti kucoba.
Pandanganku lalu beralih pada meja belajar yang menapak di sudut ruangan. Ia juga terbuat dari batang kayu mahoni. Warnanya yang kerap kusebut latte itu di atasnya terdapat beberapa buku, salah satunya adalah novel klasik karya novelis terkenal sejagad Paman Sam, Ernest Hemingway. Dari tempatku berdiri, aku masih bisa membaca dengan jelas judul yang tertera disampulnya, ‘The Old Man and The Sea’. Novel setebal seratus tiga puluh dua halaman itu belum kutandaskan. Masih tersisa setengahnya dan akan kuselesaikan malam ini juga.
Belum berpindah dari meja mahoni, mataku kemudian bertaut pada tiga tabung plastik silinder mungil berwarna jingga. Satu di antaranya berguling tapi tak jatuh –dari atas meja- dan duanya lagi masih membubung. Ketiganya bercantumkanlabel putih di masing-masing permukaannya. Tak perlu kusebut. Aku hanya wajib mengikuti instruksi yang tertulis. Instruksi dari pria tua itu.
Kembali ke tirai. Maksudku ke jendela tadi. Kali ini sudah lebih hidup rupanya. Di baliknya tampak seorang wanita sekitaran tiga puluh lima berbalut kaos turtleneck krem yang dipadukan dengan jeans hitam. Berjalan lurus dengan satu tangan melingkar pada tali sling bag yang juga berwarna hitam sedangkan tangan yang satunya lagi berada di dekat telinga kirinya, menggenggam sebuah ponsel. Wanita itu sedang berbicara dengan seseorang di seberang sana.
Kini ke satu sisi jalan. Seorang pria yang kutaksir berusia hampir setengah abad sedikit tergopoh melintas ke arah berlawanan dengan si wanita tadi. Ia lebih formal. Setelan jas lengkap dengan dasi garis-garis, sepasang pantofel mengkilat, tas jinjing dan segelas kopi ditangan kanannya. Ia buru-buru. Terlambat? Aku tak tahu pasti.
Lalu ke arah yang lainnya. Lebih tepatnya ke arah pinggir jalan. Terdapat sebuah hatchback silver berkaca transparan dengan mesin yang tak sedang menderu. Jelas sekali bisa menembus pandang ke dalamnya. Tampak sepasang pria dan wanita dan seorang perempuan muda yang mungkin saja seumuranku. Bagian kemudi di isi oleh si pria yang kupastikan adalah Ayah dari si perempuan muda, si wanita –si Ibu- berada tepat disebelahnya dan si perempuan muda sendiri duduk di belakang kursi kemudi. Ketiganya terlihat tertawa kecil sembari si Ibu sesekali menoleh ke perempuan muda itu. Aku yakin mereka sedang membicarakan suatu topik yang menyenangkan.
Tapi, tunggu! Aku sepertinya mengenali mereka. Tidak terlalu asing bagiku. Sangat tidak asing sebetulnya. Dan perempuan muda itu. Kuperhatikan dirinya lekat-lekat. Aneh!
Belum lanjut pikirku untuk lebih memusatkan terhadap apa yangbaru saja kulihat hingga tiba-tiba sekelebat trailer melambung dengan kecepatan tinggidari selatan lantas membenturkan moncongnya pada belakang hatchback itu. Seketika gemuruh tubruk tak terelakkan danhatchback itu berguling tak tentu arah. Dibalik tirai, aku mematung. Persendianku meremanglalu tanpa sadar suaraku berkumpul dikerongkongan, tercekik, berdecit kemudian keluar memantul-mantul jendela kaca dan menabrak-nabrak dinding kamar tanpa ampun. Aku ikut terguling.
Satu, dua, tiga....
Lalu semuanya tampak buram.
***
Terapi selama tiga bulan terakhir ini sepertinya kurang berhasil. Cairannya bagaimana? Pastikan tetap terhidrasi. Iya, dosisnya akan ditingkatkan. Trazodon dan Vortioksetin akan dikombinasikan. Anticemasnya akan diganti dengan Lorazepam. Mimpi buruk? Akan tetap pada Prazosin. Post-Traumatic Stress Disordermasih menggerogotinya. Oleh karena itu, pantauan yang ketat untuk menjamin kepatuhannya terhadap terapi farmakologi yang diberikan harus selalu dilaporkan.
Suara-suara itu terdengar lamat-lamat. Mendayu-dayu seperti sebuah alunan. Aku sedikit linglung dan kudapati tubuhku meringkuk di atas ranjang besi ringkih hingga akhirnya kuberanikan untuk menoleh. Pria tua itu.
“Halo, Nona Lisa.”
Pria itu tersenyum. Paruh baya yang kukenal. Ia sering disapa Dokter Vin. Aku juga memanggilnya seperti itu.Ia tidak sendiri. Dua orang perawat berada di sebelahnya. Satu di antaranya memegang sebuah alas papan tipis dan sebuah bolpoin.
“Bagaimana perasaan Anda sekarang? Lebih baik?” Dokter Vin bertanya dengan alis kirinya terangkat.Ada jeda kosong. Kepalanya mengangguk dan sedetik kemudian ia kembali bersuara.
“Anda tahu? Tak ada yang perlu dikhawatirkan. Anda hanya harus patuh terhadap terapi yang kami berikan saat ini. Sampai pada akhirnya ketika Anda sudah siap lagi, kami akan melanjutkan terapi-terapi yang dibutuhkan seperti terapi perilaku kognitif, terapi eksposur,terapi desensitisasi dan pemrosesan ulang gerakan mata untuk mencoba mengubah respon Anda saat teringat kejadian traumatis yang menimpa anda.”
Dokter Vin menarik napas dalam, membuangnya, kemudian….
“Anda akan pulih kembali, Nona Lisa.” tandasnya.
***
AKSARA SENJA
Oleh : PUTRI AYU AMALIA
Namaku Rianty Senjani,kerap disapa senja.Aku anak tunggal dari ayah dan bundaku,entah ingin memulai dari mana kisah ini..kisah ku dengan nya dan menjadi kisah kita.
Hari kian teduh,kutatap langit yang mengelap...perlahan rintik hujan turun menerpa bumi seakan tanpa jeda, air berjatuhan ke tanah.Karena nya aku belajar tak semua hal yang membuat jatuh itu menyakitkan contoh nya hujan,ia jatuh ke tanah tanpa syarat membuat penduduk bumi riang akan kehadiran nya...aku ingin bagaikan hujan namun, aku tahu tak selama nya hujan akan terus turun.
Dalam hening ku setia dibalik jendela kamar trus menatap tiap tetes hujan yg berjatuhan,dari luar terdengar suara bunda memanggil..." Senja".... Mendengar nya kubergegas keluar dari kamar, "iya bunda" dengan tergesa-gesa ku berlari menghapiri bunda,..." Kenapa lari sih kamu,kan bisa jalan santai senja..lihat kamu ngap-ngapan kan sekarang". Aku diomeli bunda saat itu,tiap diberi nasehat oleh bunda rasanya ingin menangis karena aku tidak ingin membuat bunda harus memikirkan ku terlebih saat bunda terus sedih terkait penyakit ku saat ini.
"Lain kali jangan begini yah,bunda nggak mau klau kamu kecapean sedikit pun..ngak boleh pokok nya".. ujar bunda padaku...
"Iyah bunda janji nggak akan lagi,ohiyah knapa bun tadi manggil.."
"Bunda mau bilang kamu besok bisa keskolah lagi sayang..."
Kata yang paling kutunggu adalah ketika bunda mengatakan aku bisa kembali ke sekolah,hari itu aku sangat senang begitu senang nya bagaimana tidak setelah satu tahun aku hanya berdiam dirumah menerima pelajaran dan akhirnya kini aku bisa bersua kembali dengan teman-teman ku.Dengan rasa begitu gembira aku memeluk bunda dan mengucapkan terima kasih kepadanya,tak lupa lansung ketelpon ayah saat itu.
"Assalamualaikum ayah, sekarang dimana nih ayah.." tanya ku
"Wa'alaikumusalam,ayah lagi di jalan pulang kok,kenapa nih kok tiba² nelpon.."
"Masa ayah nggak tahu,besok aku bisa keskolah kata bunda .."....," Ayah nitip beliin cat air yah sama kertas gambar sekalian.."
"Siap cantikk..nanti ayah beliin yang banyak.."
"Uhh mkasih ayah,sayang ayah deh..dadah"
Setelah menutup telpon dengan ayah ,aku kembali ke kamar menyiapkan kesegalah keperluan untuk besok,kususun dengan baik tanpa salah,setelah nya kukembali menuju dapur menghapiri bunda.." bunda besok aku mau sarapan nasi gorwng" ..."siap sayang.."
"Ohiyah bunda aku mau tidur deh,nggak sabar untuk besok"...bergeges kembali lalu kukempar tubuh menuju kasur ,berselimut dan memejamkan mata ..
Pagi yang indah untuk hari bahagia. Cahaya matahari menerpa wajah seakan pertanda saatnya untuk terbangun dari lelap nya tidur,terbangun dengan penuh harap dan tersenyum selebar mungkin...bangkit dari kasur dan bersegera bersiap menuju sekolah .... " Selamat pagi kesayangan bunda" tiba-tiba bunda muncul dan membuat ku terkejut..." Astagfirullah yah ALLAH".. bunda kok ngagetin sih.." yah ampun maafin bunda..abis kamu nggak keluar kamar sih jadi bunda pikir kamu blum bangun..."... Bunda, mana mungkin aku kesiangan...ohiyah bunda lihat penampilan aku ..cantik kan bunda ?.. " lebih cantik lagi klau pakai jepitan warna kuning,gimna?"..." Boleh dehh"..kataku, setelah lama bercermin melihat penampilan aku bersiap keluar kamar untuk sarapan bersama dengan bunda dan juga ayah.Kudapati ayah yang sudah terlebih dahulu ada di meja makan,bergegas duduk berhadapan dengan ayah dan mengucapkan selamat pagi padanya.." ayah,hari ini siapa yang ngantar senja nih" tanya ku pada ayah.." hari pertama harus ayah dong,kalau besok boleh deh pak sopir yang antar..tpi klau senja mau biar ayah yang antar setiap hari deh.." mendengar itu aku sangat bahagia.Saat selesai sarapan aku dan ayah bergegas keluar menuju mobil diantar oleh bunda hingga gerbang rasanya masih belum percaya bahwa kini aku kembali sekolah lagi,senyum terus terukir di wajah ku.
Keluar dari mobil.berpamitan dengan ayah,lalu berjalan masuk melewati gerbang.
Berjalan melintasi koridor,banyak pasang mata yang sedari tadi terus menatap,tak sedikit pula yang berbisik.
" Itukan anak yg setahun cuti sekolah "....
"Oh..dia masuk sekolah lagi "...
" Katanya penyakitan sih,,"...
" Kasian bgett yah".....
Mungkin lebih dari itu,banyak yang menaru simpati dan tentu ada yang tak menyukai.
"Senja"....teriakan yang nyaring di kuping.
"Hosshh..hoshtt, Nafas gue habis.. astagfirullah" guman perempuan cantik itu,
" Senja,gue rindu...kok lama bget sih dtng keskolah nya..?". tanpa ba-bi-bu,senja memeluk kedua sahabatnya itu dengan haru dan bahagia."Aku senang bget bisa belajar bareng kalian lagi,ke kantin breng dan jalan breng lagi"...suara yg mulai parau," hiks,hiks.. gue jadi sedih tahu,jangan ngomong kek gitu ahh,mata gue nanti bengkak ".
Menyeka air mata yang masih tersisa.dengan raut wajah ceria,mereka beranjak menuju kelas.Banyak pasang mata yg kembali menatap,Iyah..tertuju pada senja yg berdiri disamping Dikta dan Yeri.
Dikta adalah sahabat senja dari SMP,mereka sangat dekat.walaupun Dikta sangat kasar dan juga pemarah tapi di depan senja,Dikta adalah pelindung.sedangkan Yeri adalah sahabat senja dan juga Dikta,walaupun mereka baru bertemu saat masuk SMA.tapi,mereka bgitu dekat apalagi sifat Yeri yang mudah bergaul dan juga sangat cerewet.
Setelah melewati pelajaran,bel pun berbunyi dengan nyaring nya hingga menggema di seluru penjuru sekolah.Di sisi lain kini senja sedang menuju kantin bersama dengan kedua sahabatnya,siapa lagi kalau bukan Dikta dan Yeri.
Berbeda hal nya dengan senja yang kini diterpa bahagia karena bisa bersekolah lagi,di lain tempat ada ayah dan bunda senja yang berurai air mata di ruangan serba putih.
" Mungkin ini sudah jalan nya pak,Bu." Ujar pria paru baya yang tak lain adalah dokter keluarga mereka, Isak tangis masih saja menghiasi wajah keduanya.Hati kedua orang tua itu seakan tertusuk begitu dalam nya, orang yang sangat mereka sayangi kini di ambang kematian,dia senja.
Dokter mengatakan bahwa senja tak punya waktu cukup banyak, karena sakit nya sudah tak sanggup lagi ditangani pihak rumah sakit,semua adalah takdir. Diusia begitu belia senja harus menanggung sakit seperti ini, seharusnya dia bisa bahagia untuk saat ini dan juga nanti tapi Tuhan sangat apik dengan takdir hamba nya.
Kini mereka keluar dari ruangan dokter,dengan perasaan tak karuan bunda senja mencari sesuatu dalam tas. Benda gepeng itu berhasil ia temukan dan mulai mengotak atik nya hingga suara dering ponsel terdengar jelas.
" Halo bunda" ucap senja
" Halo sayang,kamu udah makan ?"
" Ini lagi dikantin kok Bun"
" Anak bunda makan yg banyak yah,jaga kesehatan,kalau sakit telpon bunda"
" Iya bunda,tenang aja"
" Oke, sampai ketemu dirumah sayang"
Tak kuasa lagi,kini Isak tangis bunda tak lagi bisa dibendung.mengalir deras tanpa jeda.
Kantin begitu ramai, penuh dengan lautan manusia. Disana sudah duduk Senjani bersama Dikta dan Yeri, disisi lain kelompok wanita dengan rok mini disertai riasan yang begitu menor, mereka adalah celin and the gank. Berjalan lenggak lenggok...
Salah satu menggebrak meja, yang tak lain adalah meja yang ditempati oleh Senjani.
Terlalu syok membuat ketiga sahabat itu tercengang, dan tanpa rasa bersalah celin dan antek-antek nya tertawa renyah melihat senjani dan kawan nya terkejut.
" Kuker banget sih kalian" ujar Yeri
" Iyah nih, sengaja banget sih kalian" lanjut Dikta..
Celin menarik rambut senjani, membuat orang tersebut tertarik penuh sakit sebab rambut nya kini berada di tangan celin. Tanpa dosa celin kian mempererat genggam nya membuat sang empunya rambut meringis begitu hebat, kini bulir air mata yang mengalir dipipi mungil Senjani.
" He,, lepas nggak tangan kotor Lo"
Dengan sigap Dikta menghempas tangan celin dari rambut senjani, sehingga Senjani terbebas sekarang. Yeri cekatan sehingga menjambak rambut celin dan tentu yang empunya tidak Tinggal diam di perlakukan begini, terjadi lah aduh cambak rambut di kantin. Dari arah pintu kantin, guru BK datang menghampiri kerumunan yang ada di depan mata nya, seketika semua aksi Jambak berhenti.
" Kalian ini mau jadi apa, klau kerja kalian berantem begini di lingkungan sekolah" ujar guru BK
" Maaf pak, tapi celin dluan yang datang ganggu kita pak, lihat aja disini jelas meja makan kita" ujar Dikta dan di angguki oleh Yeri
Guru BK tersebut tidak ambil pusing, ia menghukum kedua kelompok wanita ini. Ada yang membersihkan toilet dan ada yang merapikan gudang
Senjani duduk terdiam menatapi orang lalu lalang, Yeri dan Dikta sudah pulang lebih dulu. Kini tinggal senjani yang menunggu jemputan nya
Masih ada beberapa siswa disekolah, ada yang tinggal latihan basket, ada yang rapat organisasi, dan juga ada beberapa orang yang entah kenapa tetap tinggal. Tampa tersadar ayah sudah datang, sesegera mungkin aku naik ke mobil. Karena rumah dengan sekolah jarak nya tak terlalu jauh sehingga tak butuh waktu lama untuk sampai rumah.
Turun dari mobil bergandengan dengan ayah masuk kerumah, begitu sederhana tetapi sangat berarti bagiku. Ada bunda menghapiri kami dengan senyum khas nya dan hal itu tentu menjadi penyemangat untuk setiap hariku.
" Eh udah pulang, sana gih beberes dulu terus kita makan"
" Siap ibunda ku, hehehe"
Bergegas menuju kamar dan ganti baju, saat selesai entah kenapa dadaku terasa begitu sesak tak tertahan kan, sakit sekalih hingga suara teriakan terlontar dan bergema di sudut ruang kamar.
" Ahhhhh, sakitt"
Terdengar suara dari kamar membuat bunda dan ayah sontak lari menghampiri, dan mereka dapati tubuh yang tak sadarkan diri tergeletak dilantai kamar, dengan segera menuju rumah sakit.
Sesampainya di rumah sakit dengan segera senjani ditangani oleh dokter yang biasa merawat nya juga, begitu lama bergelut hingga dokter keluar dari ruangan tersebut.
" Bagaimana keadaan anak saya Dok ? "
" Mohon maaf Bu, kami sudah berusaha tapi yang maha kuasa lah penentunya"
Tak lagi sanggup berucap, hanya isak tangis yang terdengar begitu bergema di lorong rumah sakit. Bunda bangkit menuju ruang tempat senjani sekarang terbaring lemah
" Senjani sayang, ini bunda nak. Bangun Senjani jangan tidur seperti ini"
😍😍
BalasHapusKerenn
BalasHapus