PENGGUNAAN OBAT SECARA RASIONAL
Halo sobat CPers, Penggunaan Obat secara Rasional (POR) atau Rational Use of Medicine (RUM merupakan suatu kampanye yang disebarkan ke seluruh dunia, termasuk di Indonesia. POR merupakan upaya intervensi untuk mencapai pengobatan yang efektif Konferensi para ahli tentang penggunaan obat yang rasional yang diadakan oleh WHO di Nairobi tahun 1985 telah mendefenisikan penggunaan obat secara berikut pasien menerima obat-obat yang sesuai pada kebutuhan klinik mereka dalam dosis yang memenuhi kebutuhan individu mereka sendiri untuk suatu periode waktu yang memadai dan pada harga rendah untuk mereka dan masyarakat. Udah tau belum apa apa aja sih yang perlu diperhatikan dalam penggunaan obat secara rasional, untuk lebih lengkapnya yuk simak penjelasannya dibawah ini.
Kampanye POR oleh WHO dilatarbelakangi
oleh dua kondisi yang bertolak belakang Kondisi pertama menunjukkan bahwa
terdapat lebih dan 50% obat-obatan di dunia diresepkan dan diberikan secara
tidak tepat tidak aktif dan tidak listen Bertolak belakang dengan kondisa kedua
yaitu kenyataan bahwa sepertiga dari jumlah penduduk dunia Ternyata kesulitan
mendapatkan akses memperoleh obat esensial.
Isilah penggunaan obat yang rasional
dalam konteks biomedis mencakup
kriten beikut :
1. Indikasi
yang tepat, yaitu alasan menulis pertimbangan
medis yang tepat
2. Obat
yang tepat mempertibangkan kemanjuran, kecocokan
bagi pasien dan harga
3. Dosis, pemberian dan durasi pengobatan yang tepat, mempertimbangkan kemanjuran, keamanan, kecocokan bagi pasien dan harga
4. Pasien
yang tepat, yaitu tidak ada kontra indikasi dan kemungkinan reaksi merugikan
minimal
5. Dispensing
yang benar termasuk informasi yang tepat bagi pasien tentang obat yang
diresepkan
6. Kepatuhan
pasien terhadap pengobaton
Untuk memenuhi kriteria tersebut dokter
penulis resep harus mengikuti proses penulisan baku, dimulai dengan diagnosis
untuk menetapkan masalah yang memerlukan intervensi. Berikutnya, sasaran
penanganan yang diperlukan, didasarkan pada informasi terapi obat yang mutakhir
guna mencapai sasaran yang diinginkan untuk individu pasien yang baik bagi
pasien diseleksi berdasarkan kemanjuran kesesuaian dan harga. Selanjutnya dosis
rute pemberian dan durasi pengobatan solusi bagi pasien. Apabila menulis suatu
obat, dokter penulis resep harus memberikan informasi yang tepat kepada pasien
tentang obat dan terapi harus diterapkan. Dokter penulis resep harus memutuskan
cara Apabila diputuskan untuk memberikan terapi obat kepada pasien, obat
ditetapkan dengan mempertimbangkan kondisi pasien Dalam tahap ini, farmasis
dapat membantu dokter dalam menyeleksi obat yang paling kondisi pasion
Selanjutnya, dokter penulis resep harus memutuskan cara memantau pengobatan,
setelah mempertimbangkan efek terapi atau efek merugikan yang mungkin dari
pengobatan tersebut.
Pentingnya penggunaan obat yang
rasional
1. Mengurangi
panggunaan obat yang diperlukanPentingnya penggunaan obat yang rasional
2. Mengurangi
panggunaan obat yang tidak diperlukan
3. Mengurangi
bahaya dan biaya dari obat yang tidak diperlukan kama polifarmasi
4. Meningkatkan
manfaat dari obat secara maksimal
5. Adanya
ledakan jumlah obat yang ada dipasaran. jika idak ada penggunaan obat yang
rasional dampaknya akan merugikan dan bahkan berbahaya
6. Untuk
mengurangi peningkatan timbulnya resistensi kuman terhadap antimikroba
7. Peningkatan
kesadaran konsumen regulator pelayanan kesehatan dan perlindungan konsumen
Kriteria Obat Yang
Rasional
a.
Tepat Diagnosis
Penggunaan obat harus berdasarkan penegakan diagnosis yang tepat. Ketepatan diagnosis menjadi langkah awal dalam sebuah proses pengobatan karena ketepatan pemilihan obat dan indikasi akan tergantung pada diagnosis penyakit pasien. Misalnya pasien diare yang disebabkan amubiasis maka akan diberikan metronidazol. Jika dalam proses penegakan diagnosisnya tidak ditemukakan penyebabnya adalah amoebiasis, terapi tidak akan menggunakan metronidazol. Pada pengobatan oleh tenaga kesehatan diagnosis merupakan wilayah kerja Dokter. Sedangkan pada swamedikasi oleh pasien, farmasis mempunyai peran sebagai second opinion untuk pasien dengan self diagnosis.
b.
Tepat Pemilihan Obat
Berdasarkan diagnosis yang tepat maka harus
dilakukan pemilihan obat yang tepat. Pemilihan obat yang tepat dapat didasarkan
pada ketepatan kelas terapi dan jenis obat yang sesuai dengan diagnosis. Selain
itu, obat juga harus terbukti manfaat dan keamanannya. Obat juga harus
merupakan jenis yang paling mudah didapatkan. Jenis obat yang akan digunakan
pasien juga seharusnya berjumlah semaksimal mungkin.
c.
Tepat indikasi
Pasien diberikan obat dengan indikasi yang benar
sesuai diagnosis dokter. Misalnya antibiotik hanya diberikan kepada pasien yang
terbukti terkena penyakit akibat bakteri.
d.
Tepat pasien
Obat yang akan digunakan pasien mempertimbangkan
kondisi individu yang bersangkutan. Riwayat alergi, adanya penyakit penyerta
seperti kelainan ginjal atau kerusakan hati, serta kondisi khusus, misalnya:
hamil, laktasi, balita, dan lansia harus dipertimbangkan dalam pemilihan obat.
Contoh, pemberian obat golongan aminoglikosida pada pasien dengan gagal ginjal
akan meningkatkan risiko nefrotoksik sehingga harus dihindari.
e.
Tepat dosis
Dosis obat yang digunakan harus sesuai range terapi
obat tersebut. Obat mempunyai karakteristik farmakodinamik maupun
farmakokinetik yang akan mempengaruhi kadar obat di dalam darah dan efek terapi
obat. Dosis juga harus disesuaikan dengan kondisi pasien dari segi usia, bobot
badan, maupun kelainan tertentu.
f.
Tepat cara dan lama
pemberian
Cara pemberian yang tepat harus mempertimbangkan
keamanan dan kondisi pasien. Hal ini juga akan berpengaruh pada bentuk sediaan
dan saat pemberian obat. Misalnya pasien anak yang tidak mampu menelan tablet
parasetamol dapat diganti dengan sirup. Lama pemberian meliputi frekuensi dan
lama pemberian harus sesuai karakteristik obat dan penyakit. Frekuensi
pemberian akan berkaitan dengan kadar obat dalam darah yang menghasilkan efek
terapi.
Contohnya penggunaan antibiotik amoksisilin 500mg
dalam penggunaannya diberikan tiga kali sehari selama 3-5 hari akan membunuh
bakteri patogen yang ada. Agar terapi berhasil dan tidak terjadi resistensi
maka frekuensi dan lama pemberian obat harus tepat.
g.
Tepat harga
Penggunaan obat tanpa indikasi yang jelas atau untuk
keadaan yang sama sekali tidak memerlukan terapi obat merupakan pemborosan dan
sangat membebani pasien, termasuk peresepan obat yang mahal. Contoh pemberian
antibiotik pada pasien ISPA nonpneumonia dan diare nnspesifik yang sebenarnya
tidak diperlukan hanya merupakan pemborosan serta dapat menyebabkan efek
samping yang tidak dikehendaki.
h.
Tepat informasi
Kejelasan informasi tentang obat yang harus diminum
atau digunakan pasien akan sangat mempengaruhi ketaatan pasien dan keberhasilan
pengobatan. Misalnya pada peresepan rifampisin harus diberi informasi bahwa
urin dapat berubah menjadi warna merah sehingga pasien tidak akan berhenti
minum obat walaupun urinnya berwarna merah.
i.
Waspada efek samping
Pemberian obat potensial menimbulkan efek samping,
yaitu efek yang tidak diinginkan yang timbul pada pemberian obat dengan dosis
terapi. Contohnya penggunaan teofilin menyebabkan jantung berdebar.
Penggunaan Obat Yang Tidak Rasional
Ciri-ciri
Penggunaan Obat yang Tidak Rasional dapat dikategorikan sebagai berikut:
a. Peresepan
berlebih (overprescribing)
Yaitu jika memberikan obat yang sebenarnya tidak
diperlukan untuk penyakit yang bersangkutan.Contoh:
1)
Pemberian antibiotik pada ISPA non
pneumonia (umumnya disebabkan oleh virus)
2)
Pemberian obat dengan dosis yang lebih
besar daripada yang dianjurkan.
3)
Jumlah obat yang diberikan lebih dari
yang diperlukan untuk pengobatan penyakit tersebut.
4)
Pemberian obat berlebihan memberi resiko
lebih besar untuk timbulnya efek yang tidak diinginkan seperti:
·
Interaksi
·
Efek Samping
·
Intoksikasi
b. Peresepan
kurang (underprescribing)
Yaitu jika pemberian obat kurang dari yang
seharusnya diperlukan, baik dalam hal dosis, jumlah maupun lama pemberian.
Tidak diresepkannya obat yang diperlukan untuk penyakit yang diderita juga
termasuk dalam kategori ini. Contoh :
1) Pemberian
antibiotik selama 3 hari untuk ISPA pneumonia.
2) Tidak
memberikan oralit pada anak yang jelas menderita diare.
3) Tidak
memberikan tablet Zn selama 10 hari pada balita yang diare.
c. Peresepan
majemuk (multiple prescribing)
Yaitu jika memberikan beberapa obat
untuk satu indikasi penyakit yang sama. Dalam kelompok ini juga termasuk
pemberian lebih dari satu obat untuk penyakit yang diketahui dapat disembuhkan
dengan satu jenis obat. Contoh: Pemberian puyer pada anak dengan batuk pilek
berisi:
1) Amoksisilin
2) Parasetamol
3) Gliseril
guaiakolat
4) Deksametason
5) CTM
6) Dan
Luminal.
d. Peresepan
salah (incorrect prescribing)
Mencakup pemberian obat untuk indikasi yang keliru,
untuk kondisi yang sebenarnya merupakan kontraindikasi pemberian obat,
memberikan kemungkinan resiko efek samping yang lebih besar, pemberian
informasi yang keliru mengenai obat yangdiberikan kepada pasien, dan
sebagainya. Contoh :
1.
Pemberian antibiotik golongan kuinolon
(misalnya siprofl oksasin & ofl oksasin) untuk anak.
2.
Meresepkan asam mefenamat untuk
demam.bukannya parasetamol yang lebih aman.
Contoh
lain ketidak rasionalan penggunaan obat dalam praktek sehari hari:
a. Pemberian
obat untuk penderita yang tidak memerlukan terapi obat.
Contoh:
Pemberian roboransia untuk perangsang
nafsu makan pada anak padahal intervensi gizi jauh lebih bermanfaat.
b. Penggunaan
obat yang tidak sesuai dengan indikasi penyakit.
Contoh:
Pemberian injeksi
vitamin B12 untuk keluhan pegal linu.
c. Penggunaan
obat yang tidak sesuai dengan aturan.
Contoh:
Frekuensi pemberian amoksisilin 3 x
sehari, padahal yangbenar adalah diberikan 1 kaplet tiap 8 jam.
d. Penggunaan
obat yang memiliki potensi toksisitas lebih besar, sementara obat lain dengan
manfaat yang sama tetapi jauhlebih aman tersedia.
Contoh:
Pemberian
metilprednisolon atau deksametason untuk mengatasi sakit tenggorok atau sakit menelan
padahal tersedia ibuprofen yang jelas lebih aman dan efficacious.
e. Penggunaan
obat yang harganya mahal, sementara obat sejenis dengan mutu yang sama dan
harga lebih murah tersedia.
Contoh:
Kecenderungan untuk meresepkan obat
bermerek yang relatif mahal padahal obat generik dengan manfaat dan keamanan
yang sama dan harga lebih murah tersedia.
f. Penggunaan
obat yang belum terbukti secara ilmiah manfaat dan keamanannya.
Contoh:
Terlalu cepat meresepkan obat obat baru
sebaiknya dihindari karena umumnya belum teruji manfaat dan keamanan jangka
panjangnya, yang justru dapat merugikan pasien.
g. Penggunaan
obat yang jelas-jelas akan mempengaruhi kebiasaan atau persepsi yang keliru
dari masyarakat terhadap hasil pengobatan.
Contoh:
Kebiasaan pemberian injeksi roborantia
pada pasien dewasayang selanjutnya akan mendorong penderita tersebut untuk
selalu minta diinjeksi jika datang dengan keluhan yang sama.
Dampak Penggunaan Obat Yang Tidak
Rasional
Beberapa
dampak dari penggunaan obat yang tidak
rasional adalah sebagai berikut:
1. Dampak
pada mutu pengobatan dan pelayanan
Salah satu dampak penggunaan obat yang tidak
rasional adalah peningkatan angka morbiditas dan mortalitas penyakit. Sebagai
contoh, penderita diare akut non spesifik umumnya mendapatkan antibiotika dan
injeksi, sementara pemberian oralit (yang lebih dianjurkan) umumnya kurang
banyak dilakukan. Padahal diketahui bahwa resiko terjadinya dehidrasi pada anak
yang diare dapat membahayakan keselamatan jiwa anak yang bersangkutan.
2. Dampak
terhadap biaya pengobatan
Penggunaan obat tanpa indikasi yang jelas, atau
pemberian obat untuk keadaan yang sama sekali tidak memerlukan terapi obat,
jelas merupakan pemborosan dan sangat membebani pasien. Disini termasuk pula
peresepan obat yang mahal, padahal alternatif obat yang lain dengan manfaat dan
keamanan sama dengan harga lebih terjangkau telah tersedia.
3. Dampak
terhadap kemungkinan efek samping dan efek lain yang tidak diharapkan
Dampak lain dari ketidakrasionalan penggunaan obat
adalahbmeningkatkan resiko terjadinya efek samping serta efek lainyang tidak
diharapkan, baikuntuk pasien maupun masyarakat.Beberapa data berikut mewakili
dampak negatif yang terjadi akibat penggunaan obat yang tidak rasional:
a.
Resiko terjadinya penularan penyakit
(misalnya hepatitis & HIV) meningkat pada penggunaan injeksi yang tidak
legeartis, (misalnya 1 jarum suntik digunakan untuk lebih dari satu pasien).
b.
Kebiasaan memberikan obat dalam bentuk
injeksi akan meningkatkan resiko terjadinya syok anafilaksis.
c.
Resiko terjadinya efek samping obat
meningkat secara konsisten dengan makin banyaknya jenis obat yang diberikan
kepada pasien. Keadaan ini semakin nyata pada usia lanjut. Pada kelompok umur
ini kejadian efek samping dialami oleh 1 di antara 6 penderita usia lanjut yang
dirawat di rumah sakit.
d.
Terjadinya resistensi kuman terhadap
antibiotik merupakan salah satu akibat dari pemakaian antibiotika yang berlebih
(overprescribing), kurang (underprescribing), maupun pemberian pada kondisi
yang bukan merupakan indikasi (misalnya infeksi yang disebabkan oleh virus).
4. Dampak
terhadap mutu ketersediaan obat
Sebagian besar dokter masih cenderung meresepkan
antibiotikvauntuk keluhan batuk dan pilek. Akibatnya kebutuhan
antibiotikavmenjadi sangat tinggi, padahal diketahui bahwa sebagian besar batuk
pilek disebabkan oleh virus dan antibiotika tidak diperlukan. Dari praktek
pengobatan tersebut tidaklah mengherankan apabila yang umumnya dikeluhkan oleh
Puskesmas adalah tidak cukupnya ketersediaan antibiotik. Akibatnya jika suatu
saat ditemukan pasien yang benar-benar menderita infeksi bakteri, antibiotik
yang dibutuhkan sudah tidak tersedia lagi. Yang terjadi selanjutnya adalah
pasien terpaksa diberikan antibiotik lain yang bukan pilihan utama obat pilihan
(drug of choice) dari infeksi tersebut.
Disini
terdapat 2 masalah utama:
a.
Seolah-olah mutu ketersediaan obat
sangat jauh dari memadai. Padahal yang terjadi adalah antibiotik telah dibagi
rata ke semua pasien yang sebenarnya tidak memerlukan.
b.
Dengan mengganti jenis antibiotik akan
berdampak pada tidak sembuhnya pasien (karena antibiotik yang diberikan mungkin
tidak memiliki spektrum antibakteri untuk penyakit tersebut, misalnya pneumonia
diberi metronidazol). Atau penyakit menjadi lebih parah dan pasien kemudian
meninggal. Ketidakrasionalan pemberian obat oleh dokter juga sering memberi
pengaruh buruk bagi pasien maupun masyarakat. Pengaruh buruk ini dapat berupa
ketergantungan terhadap intervensi obat maupun persepsi yang keliru terhadap
pengobatan.
5. Dampak
injeksi
Pemberian substitusi terapi pada diare. Dengan
memasyarakatnya penanganan diare di rumah tangga, petugas kesehatan seolah
dihinggapi keengganan (keraguan) untuk tetap memberikan Oralit tanpa
disertaiobat lain pada pasien dengan diare akut non spesifik. Oleh sebab itu
tidak mengherankan apabila sebagian besar penderita diare akut non spesifik
masih saja mendapat injeksi maupun antibiotik, yang sebenarnya tidak
diperlukan. Sementara Oralit yang menjadi terapi utama justru sering tidak
diberikan.
Upaya Untuk Mengatasi Masalah
Penggunaan Obat Yang Tidak Rasional
Untuk mengatasi masalah penggunaan obat yang tidak
rasional diperlukan beberapa upaya perbaikan dan intervensi, baik di tingkat
provider yaitu peresep (prescriber) dan penyerah obat (dispenser) dan
pasien/masyarakat (consumer) hingga sistem kebijakan obat nasional, anatara
lain sebagai berikut:
1.
Upaya Pendidikan
·
Pendidikan selama masa kuliah
(pre-service)
·
Sesudah menjalankan prkatek kepropesian
(past-service)
·
Pendidikan past-service antara lain :
§ Pendidikan
berkelanjutan (contining-medical education)
§ Informasi
pengobatan (academic based detailing)
§ Seminar-seminar,
buletin dan lain-lain
·
Sarana pendidikan yang dapat digunakan
untuk intervensi :
o
Materi cetak buletin, pedoman pengobatan
o
Pendidikan tatap muka (face to face
education) : kuliahpenyegaran, seminar.
o
Media lain : televise, video dan
lain-lain
2.
Upaya peningkatan pengelolaan
(managerial strategies)
·
Pengendalian kecukupan obat
Melalui sistem informasi manajemen obat. Dengan
sistem ini setiap penggunaan dan permintaan obat olehunit pelayanan kesehatan
dapat terpantau, sehingga kecukupan obat dapat dikendalikan dengan baik.
·
Perbaikan sistem suplai
Melalui penerapan konsep obat esensial nasional.
Disini mengandung arti bahwa di tingkat pelayanan kesehatan tertentu hanya
tersedia obat yang paling dibutuhkan oleh sebagian besar masyarakat dan
tersedia setiap saat dengan harga yang terjangkau.
·
Pembatasan sistem peresepan dan
dispensing obat
Untuk itu perlu disediakan buku pedoman pengobatan
di masing-masing pusat pelayanan kesehatan, formulir formulir resep dengan
jumlah R/ yang terbatas, dan sebagainya.
·
Pembentukan dan pemberdayaan Komite
Farmasi dan Terapi (KFT) di Rumah-rumah Sakit
Komite Farmasi dan Terapi mempunyai tugas dan fungsi
untuk meningkatkan/menerapkan Penggunaan Obat secara Rasional di Rumah Sakit.
·
Informasi Harga
Akan memberi dampak
sadar biaya bagi para provider serta pasien/masyarakat.
·
Pengaturan pembiayaan.
Bentuk pengaturan ini
dapat merupakan pembiayaan berbasis kapitasi dan cost-sharing.
3.
Intervensi regulasi (regulatory strategies)
Intervensi regulasi umumnya paling mudah ditaati,
mengingat sifatnya yang mengikat secara formal serta memiliki kekuatan hukum.
Dengan cara ini setiap penyimpangan terhadap pelaksanaannya akan mempunyai
akibat hukum. Namun demikian, pendekatan ini sering dirasa kaku dan dianggap
membatasi kebebasan profesi. Padahal jika kita simak, misalnya konsep obat
esensial, maka kesan membatasi kebebasan tersebut tidaklah benar. Di negara
maju pun sistem pengendalian kebutuhan obat melalui regulasi juga dilakukan.
Hal ini antara lain didasarkan pada kenyataan bahwa biaya obat secara nasional
merupakan komponen terbesar dari anggaran pelayanan kesehatan. Strategi
regulasi dilakukan dalam bentuk kewajiban registrasiobat bagi obat jadi yang
beredar, peraturan keharusan peresepan generik, pelabelan generik, dan
lain-lain.
a. Daftar
Obat Esensial Nasional (DOEN)
b. Formularium
Obat
c. Upaya
Informasi
·
Bagi dokter, intervensi informasi
bertujuan untuk memberikan kemudahan dalam memperoleh informasi informasi
ilmiah yang diperlukan dalam menunjang pelaksanaan praktek keprofesiannya. Mutu
informasi yang tersedia hendaknya tetap dipelihara dengan cara menyeleksi
secara ketat sumber informasi yang handal, tidak memihak/seimbang dan bebas
dari pengaruh promosi industri farmasi.
·
Bagi apoteker, sebagai dispenser
(penyerah obat),intervensi informasi bertujuan untuk memberi kemudahan dalam
memperoleh informasi ilmiah yang diperlukan dalam menunjang pelaksanaan praktek
keprofesiannya. Dengan informasi tersebut, dispenser dapat menjelaskan cara
menyimpan dan minum obat secara tepat, serta hal-hal lain yang perlu
diperhatikan.
·
Bagi pasien/masyarakat, intervensi
informasi lebih ditujukan untuk mendidik agar memahami dengan benar setiap
upaya pengobatan yang diberikan, karena keberhasilan terapi sangat ditentukan
oleh ketaatan pasien untuk menjalankan setiap upaya pengobatan yang diberikan
oleh dokter. Dengan demikian, selama dokter dapat memberikan informasi yang
benar kepada pasien, maka tidak mungkin pasien berniat mendikte dokter, apalagi
memaksakan kehendak untuk mendapatkan jenis terapi tertentu. Informasi yang
disampaikan kepada pasien antara lain:
a. Informasi
mengenai penyakit yang diderita.
b. Jenis
dan peran obat yang diberikan dalam proses penyembuhan.
c. Informasi
mengenai cara, frekuensi dan lama penggunaan obat.
d. Kemungkinan
resiko efek samping obat.
e. Cara
penanggulangan efek samping.
f. Apa
yang harus dilakukan jika dalam periode waktu tertentu obat belum memberikan hasil seperti yang
diharapkan.
g. Informasi
mengenai hal-hal yang harus dilakukan selain pengobatan yang diberikan, seperti
misalnya diet karbohidrat dan olahraga untuk penderitadiabetes, anjuran untuk
banyak minum bagi penderita demam, istirahat dan makan minum secukupnya untuk
penderita common cold.
Referensi
:
Chalik,
R. 2019. Buku Ajar Farmasi KLinik. Unit Penelitian Politeknik Kesehatan
Makassar.
Kementerian
Kesehatan Republik Indonesia. (2011). Modul Penggunaan Obat Rasional. Jakarta:
Dirjen Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan.
Quick,
J.D., Rankin, J.R, Laing, R.O., O’Connor.R.W. (1997). Managing Drug Supply.
second edition. Boston: Kumarin Press.
Vance
A.M., Millington W.R. (1986). Principle of Irrational Drug Therapy.
International Journal of Health Sciences 16 (3), 355-361.
World
Health Organization. (2002). Promoting Rational Use of Medicine: Core
Components. Geneva: WHO Policy Perspective on Essential Drug.
🥰🥰🥰
BalasHapus👍👍
BalasHapus👍👍
BalasHapus😍😍
BalasHapus👍
BalasHapus🥰🥰🥰
BalasHapusbanzaiiii
BalasHapusKerenn
BalasHapus